Sabtu, 27 Juni 2009

Bagaimana Bisa Tertawa sementara Al Quds Masih Tertawan?


Shalahuddin berasal dari keluarga Kurdi. Ia lahir pada tahun 532 H di wilayah Tikrit, Irak. Ia dikenal sebagai orang yang cerdas dan berjiwa kuat, politikus ulung, pemimpin yang sukses, dan pejuang di penjuru Syam.
Pada saat itu, Mesir berada dalam kekuasaan Dinasti Fathimiyyah. Berbagai gejolak yang terjadi di sana berakhir setelah khalifah Fathimiyyah mengangkat Shalahuddin Al Ayyubi sebagai perdana menterinya.
Shalahuddin Al Ayyubi mencegah serangan pasukan salib ke Mesir. Hal itu menyebabkan dirinya semakin disegani oleh orang-orang Mesir. Ia juga mampu menumpas seluruh konspirasi internal yang ditujukan kepada dirinya.
Ketika khalifah Fathimiyyah, Al-‘Adhid, jatuh sakit dan kemudian meninggal, kekuasaan Dinasti Fathimiyyah pun berakhir. Setelah itu, seluruh Mesir berada di bawah kekuasaan Shalahuddin. Ia segera menyebarkan kembali paham Ahlus Sunnah ke seluruh negeri itu yang sebelumnya dikuasai mazhab Syiah. Ia mendirikan dua madrasah besar untuk mengajarkan paham Ahlus Sunnah kepada masyarakat.
Shalahuddin bekerja keras untuk menyatukan umat Islam. Ia tidak ingin memerangi faksi Islam kecuali bila terpaksa. Hal itu ia lakukan untuk menyatukan negeri-negeri Islam dalam melawan pasukan salib.
Pada tahun 582 H, Arnauth, Gubernur Al-Karak, melanggar perjanjian dengan kaum Muslim. Ia mengganggu rombongan dagang kaum Muslim. Lebih dari itu, ia mengolok-olok agama Islam dan Nabi Saw. Ia pernah berkata kepada orang-orang yang menjadi tawanannya, “Jika kalian memercayai Muhammad, panggilah dia sekarang untuk melepaskan kalian!”
Ketika Shalahuddin mengetahui hal itu, ia bersumpah untuk membunuh Arnauth dengan tangannya sendiri. Ketika para jamaah ahji Mesir akan kembali ke negeri mereka, Arnauth menghadang untuk membunuh mereka. Namun, Shalahuddin dan pasukannya segera tiba sehingga jamaah haji itu bisa pulang dengan selamat. Setelah itu, Shalahuddin mengadakan musyawarah untuk membahas masalah gangguan pasukan salib. Akhirnya, kaum Muslim sepakat untuk mengobarkan jihad.
Setelah shalat Jumat pada Rabi’ Al-Alhir 583 H, rombongan pasukan kaum Muslim berangkat sambil meneriakkan kalimat takbir sehingga menyebabkan musuh merasa gentar.
Tujuan utama Shalahuddin adalah membebaskan Masjid Al-Aqsha yang sudah sembilan puluh tahun lebih tidak didirikan shalat di sana. Selama meniapkan peperangan itu, Shalahuddin terlihat sedih dan enggan makan. Ketika ditanya tentang apa sebabnya, ia menjawab, “Bagaimana aku bisa merasa bahagia, makan enak, dan tidur pulas sementara Bait Al-Maqdis masih dikuasai kaum salib? Bagaimana aku bisa tertawa sementara Al-Quds masih tertawan?”
Setiap malam, Shalahuddin mengunjungi para pejuang yang berada di kemah mereka. Apabila mendapati penghuni kemah sedang shalat atau sedang berdzikir kepada Allah, ia merasa senang. Ia berkata, “Dari sinilah kemenangan akan datang.” Akan tetapi, jika ia mendapati penghuni kemah sedang lalai, ia berkata, “Dari sinilah kekalahan akan muncul.”
Pada pagi hari yang sangat panas, dua pasukan saling berhadapan. Kaum Muslim menyerang musuh mereka dan pasukan salib mundur. Mereka mengalami kekalahan telak.
Salah seorang yang ditawan kaum Muslim adalah Arnauth. Shalahuddin menawaran kepadanya untuk masuk Islam, tetapi ia menolak. Akhirnya, Shalahuddin membunuhnya karena ia telah mengolok-olok Rasulullah Saw. Peristiwa itu terjadi di Thabariyyah.
Kemudian, Shalahuddin dan pasukannya bergerak ke Bait Al-Maqdis. Ia mengepung pasukan salib dengan sangat ketat. Ia membebaskan Bait Al-Maqdis untuk memenuhi surat pengaduan. Surat itu berbunyi sebagai berikut:
Hai raja yang mematahkan lambang salib
Surat pengaduan datang padamu dari Bait Al-Maqdis
Semua masjid suci, tapi kini diinjak-injak kaki-kaki bernajis
Ketika penguasa Jerusalem terdesak dan tidak bisa melawan lagi, ia mengajak berdamai. Dengan segala cara, ia meminta tolong kepada Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Sultan menerima ajakan damai itu dengan syarat orang-orang Eropa itu pindah ke kota Tyr. Selain itu, ada syarat lain, yaitu setiap laki-laki dewasa membayar sepuluh dinar, setiap perempuan membayar lima dinar, dan setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, membayar dua dinar. Adapun mereka yang tidak memiliki uang akan dijadikan tawanan kaum Muslim.
Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi dan kaum Muslim memasuki kota Jerusalem pada hari Jumat, 27 Rajab 583 H. mereka segera membersihkan masjid. Shalahuddin memberikan toleransi kepada orang-orang Eropa dan tawanan di sana. Shalat Jumat pertama di Masjid Al-Aqsha dilakukan pada tanggal 4 Sya’ban 583 H azan dikumandangkan lagi di sana, Al-Quran dibaca, dan Tuhan Yang Maha Pemurah diesakan. Kalimat pertama yang diucapkan khatib Jumat pertama yang ditunjuk oleh Sultan Shalahuddin adalah ayat Al-Quran berikut.
Orang-orang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (QS Al-An’am[6]: 45)
Siapa khatib Jumat pertama Al-Quds pada masa kekuasaan Shalahuddin setelah direbut kembali oleh kaum Muslim? Ia adalah Qadhi Muhyiddin bin At-Turki.
Semoga Allah Swt. Melimpahkan rahmat kepada sang penakluk, pembebas, dan pemimpin agung, Shalahuddin.

(Syaikh Al Sa’dani, Ahmad. 2005. Sajian Ruhani Penyejuk Iman 10 Resep Hidup Mulia Berdasarkan Al-Quran. Bandung: Al-Bayan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar